Pemohon Informasi Publik di Bengkulu Dapat "Ponis" dari Komisioner KIP, Ada Apa dengan Keterbukaan?


Bengkulu – Ironis. Lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keterbukaan informasi publik justru diduga melakukan tindakan yang mencederai semangat transparansi. Hal itu terungkap dalam persidangan di Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Bengkulu, yang digelar di Jalan Kapuas Raya No. 82, Selasa (14/10/2025).


Dalam sidang sengketa informasi tersebut, seorang pemohon informasi publik yang berupaya mendapatkan data dari salah satu instansi pemerintah justru mendapat “ponis” tak lazim dari Ketua KIP Provinsi Bengkulu, Camel Junaidi, yang juga merangkap sebagai komisioner.


Berdasarkan hasil sidang, pemohon bukan hanya gagal memperoleh informasi yang diminta, tetapi juga dijatuhi sanksi larangan aktif selama satu tahun dalam proses di KIP Bengkulu. Keputusan tersebut diketuk langsung oleh Camel Junaidi sebagai pimpinan sidang.


Dasar Hukum Dipertanyakan


Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap warga negara berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, guna mengembangkan pribadi serta lingkungan sosialnya. Hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dijamin oleh konstitusi.


Namun dalam kasus ini, justru pemohon yang menggunakan haknya dianggap melanggar batas. Tidak dijelaskan secara rinci dasar hukum penjatuhan sanksi oleh Ketua KIP terhadap pemohon.


“Setelah putusan diketuk, saya malah dinyatakan tidak bisa aktif selama satu tahun. Saya kaget, karena saya datang sebagai pemohon, bukan sebagai pihak yang harus dihukum,” ujar sumber pemohon kepada redaksi.


Latar Belakang: Berita yang Memicu Ketersinggungan


Usut punya usut, keputusan ini diduga dipicu oleh pemberitaan sebelumnya yang ditulis oleh pemohon. Dalam berita tersebut, ia menyoroti tidak aktifnya KIP Bengkulu sepanjang tahun 2024, serta mengkritik peran Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Provinsi Bengkulu yang menanggung anggaran lembaga itu.


Dalam pemberitaan satirnya, pemohon menyebut “mengumpulkan koin” sebagai bentuk keprihatinan atas nasib KIP Bengkulu yang disebut-sebut tak mendapat perhatian dari Kominfo.


Alih-alih dijadikan masukan, kritik tersebut justru dianggap menyinggung pihak KIP. “Pak Camel bilang dia tersinggung dengan berita itu. Padahal maksud saya supaya KIP diperhatikan pemerintah, bukan untuk menjatuhkan,” ungkap pemohon.


Usai sidang, pemohon sempat mengajukan upaya penyelesaian secara baik-baik. Ia menyampaikan keinginan untuk mengajukan surat permintaan maaf resmi agar keputusan sanksi bisa ditinjau ulang. Namun, Ketua KIP menolak dengan alasan keputusan itu telah disepakati seluruh komisioner.


“Saya sudah bilang saya siap bersurat dan minta maaf, tapi beliau menjawab bahwa keputusan sudah final. Saya merasa ini tidak adil,” ujarnya.


Kritik: KIP Seharusnya Tidak Anti Kritik


Langkah yang diambil KIP Bengkulu ini menuai pertanyaan serius. Sejumlah pemerhati kebijakan publik menilai bahwa tindakan menjatuhkan sanksi kepada pemohon informasi bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap hak publik, apalagi jika motifnya karena pemberitaan yang bernada kritik.


“Kalau lembaga keterbukaan informasi saja tidak terbuka terhadap kritik, lalu kepada siapa lagi masyarakat bisa berharap transparansi?” ujar salah satu pemerhati hukum informasi publik di Bengkulu. Sebelum menjatuhkan suatu ponis harus ada surat resmi peringatan

Terlebih dahulu,agar ada keterbukaan publik di Bengkulu 


Menunggu Klarifikasi dan Evaluasi


Hingga berita ini diturunkan, pihak KIP Provinsi Bengkulu belum memberikan penjelasan resmi terkait dasar hukum dan pertimbangan atas keputusan “ponis” terhadap pemohon informasi publik tersebut.


Publik kini menantikan klarifikasi terbuka dari KIP Bengkulu dan Komisi Informasi Pusat, agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi upaya mewujudkan pemerintahan yang transparan dan partisipatif di Provinsi Bengkulu. ( Red*)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama